Remaja didefinisikan sebagai orang yang mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut WHO, batasan usianya adalah 19-24. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan, batasan usianya adalah 10-19, dan belum kawin. (Depkominfo RI, 2005) Pada masa remaja, seseorang mengalami perubahan fisik dan mental. Selain fisiknya bertambah besar, tubuh mereka juga mengalami proses pematangan alat seksual. Tubuh mereka memproduksi hormon yang merangsang hasrat seksual. Akibatnya, mereka mengalami masalah mental untuk menahan rangsangan tersebut. Selain masalah seksual, remaja juga mengalami proses pencarian jati diri. Pada masa ini, remaja mulai berpikir kritis terhadap pentingnya akhlak dan budi pekerti. Termasuk akhlak dan budi pekerti dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Jika mereka menganggap pendidikan akhlak dan budi pekerti tidak penting, maka mereka tidak akan menghiraukannya. Akibatnya, seks bebas menjadi marak di kalangan remaja. Oleh karena itulah, pendidikan akhlak dan budi pekerti, terutama terkait pendidikan seks, menjadi penting untuk remaja. Pendidikan akhlak dan budi pekerti ini perlu dijelaskan dengan pendekatan yang filosofis dan rasional.

 

Rahmat Djatnika dalam Sistem Etika Islam mengutip pendapat Ibnu Miskawaih, Al Gazali, Dan Ahmad Amin tentang akhlak. Akhlak adalah perangai yang melekat pada seseorang yang memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan lebih dulu. Sedangkan budi pekerti adalah perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku. (Zakky Mubarak dkk, 2010: 19-20) Oleh karena itu, selain menggunakan perasaannya, orang yang memiliki budi pekerti akan menggunakan rasionya sebelum melakukan suatu perbuatan.  Pendidikan seks adalah pendidikan terkait kehidupan seks yang baik. (Depkominfo RI, 2005).

 

Pendidikan akhlak dan budi pekerti perlu diajarkan sejak anak-anak sehingga pengetahuan mereka dapat menjadi benteng saat mencapai masa pencarian jati diri. Pendidikan akhlak dan budi pekerti yang paling penting berasal dari lingkungan primer yaitu keluarga. Selain dari keluarga, pendidikan akhlak dan budi pekerti yang juga patut diperhitungkan, terutama pendidikan seks, adalah dari sekolah. Namun, menurut pengalaman penulis, pendidikan akhlak dan budi pekerti yang didapat dari sekolah sangatlah minim.

 

Saat SD yaitu pada tahun 2002-2003, penulis hanya mendapatkan pendidikan kesehatan alat reproduksi tanpa pendidikan seks pada saat kelas 6 SD, sehingga pergaulan antara anak-anak laki-laki dan perempuan tidak ada batasannya. Saat kelas 3 SMP, penulis hanya mendapat pendidikan seks selama satu jam pelajaran dari guru Bimbingan dan Konseling. Saat itu, sang guru hanya menjelaskan batasan interaksi antara lelaki dan perempuan dari perspektif agama dan sosial budaya tanpa menjelaskan mengapa remaja perlu memperhatikan batasan-batasanPadahal, jika tidak ditangani dengan baik, masalah seks adalah masalah yang sangat mengganggu perkembangan mental remaja. Oleh karena itu, sekolah perlu memberikan pendidikan seks lebih mendalam, terutama dari aspek akhlak dan budi pekerti. Pendidikan akhlak dan budi pekerti terkait seks tersebut dapat diberikan dari perspektif rohani, afeksi, citra diri, dan lain-lain.

 

Perspektif rohani memperlihatkan bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, manusia dianugerahi akal dan hati. Oleh karena itu, manusia yang beriman pada Tuhan Yang Maha Esa harus bersyukur dengan cara berpikir dan berperasaan yang baik. Saat melakukan seks bebas, manusia berarti telah berperilaku layaknya hewan karena tidak mempertimbangkan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan, yaitu rusaknya kehidupan lahir dan batin serta dunia dan akhirat. Padahal, manusia yang beriman dan bertakwa merupakan perwujudan dari manusia paripurna yang memiliki keseimbangan lahir dan batin, dunia dan akhirat. (Irmayanti Meliono dkk, 2010: 86). Oleh karena itulah, pendidikan agama dibutuhkan sebagai benteng dari seks bebas.

 

Pendidikan seks dari perspektif agama misalnya menanamkan rasa malu sejak dini dengan tidak memakai pakaian yang buka-bukaan. Walaupun masih kecil, jangan biarkan anak bertelanjang di depan orang lain. Kemudian pisahkan tempat tidur anak lelaki dan perempuan sejak usia 7-10 tahun. Dengan begitu, anak manyadari sejak awal eksistensi dari perbedaan jenis kelamin sehingga akan menjaga interaksi dengan lawan jenis. Berikutnya ajarkan menjaga kebersihan alat kelamin. Jika sejak kecil anak diajarkan untuk hidup bersih, ia akan menyadari bahwa seks bebas adalah perbuatan kotor sehingga enggan melakukannya. Selain itu, ajarkan anak untuk menjaga pandangan. Jauhkan anak-anak dari bacaan dan tontonan yang mengandung unsur porno. Agama juga mengajarkan untuk tidak mendekati zina atau seks bebas. Salah satu penerapannya adalah dengan tidak berduaan di tempat sepi. Kemudian ajarkan juga untuk tidak masuk ke kamar orangtua kecuali minta izin terlebih dahulu. Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan anak memergoki orangtuanya sedang melakukan kegiatan seksual ataupun kegiatan orang dewasa lainnya. (“Pendidikan Seks untuk Anak”, 2010)

 

Perspektif afeksi dalam pendidikan seks adalah untuk mengingatkan bahwa mencintai diri sendiri dan lawan jenis adalah fitrah manusia. Saat seseorang melakukan seks bebas, ia bukan hanya merusak dirinya sendiri tetapi juga pasangannya. Kerugian yang mengancam diantaranya penyakit kelamin dan reputasi yang rusak. Biasanya yang menanggung kerugian terbesar adalah perempuan karena hilangnya keperawanan seorang perempuan mudah terdeteksi. Selain itu, jika ia hamil, maka anaknya biasanya tidak akan bernasib baik. Jika hamil di usia yang belum mencukupi, maka kehamilan tersebut juga dapat membahayakan sang ibu. Menurut BKKBN, usia ideal untuk hamil dan melahirkan adalah 20-30, usia diluar itu adalah berisiko (Depkominfo RI, 2005).

 

Perspektif citra diri berhubungan erat dengan akhlak dan budi pekerti. Citra diri yang baik misalnya tanggung jawab, sopan santun, kejujuran, komitmen. Seseorang dengan citra diri yang baik akan dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, seseorang dengan citra diri yang buruk tidak akan dihormati oleh orang-orang disekitarnya, hubungan sosialnya akan berjalan dengan kurang harmonis, bahkan orang-orang dapat mengucilkannya. Jika seseorang ketahuan melakukan seks bebas, maka citra dirinya akan hancur, masa depannya pun akan suram.

 

Dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak dan budi pekerti terkait pendidikan seksual perlu diberikan sekolah sejak dini. Jika pendidikan akhlak dan budi pekerti diberikan sejak dini, maka anak akan lebih siap menghadapi proses perkembangan fisik dan mentalnya saat masa remaja datang. Bagi remaja, pendidikan akhlak dan budi pekerti sebisa mungkin dilakukan dengan pendekatan filosofis dan rasional karena, di masa remaja, seseorang mulai berpikir kritis terhadap ilmu yang diterimanya.

 

Daftar Pustaka

 

Buku:

Mubarak, Zakky, dkk., Mata Ajar Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT): Buku Ajar II Manusia, Akhlak, Budi Pekerti, dan Masyarakat (Depok: Fakultas Kedukteran Universitas Indonesia, 2010)

 

Internet:

“Pendidikan Seks untuk Anak” Forum Silaturahmi Minggu Legi Manfaat Dunia Akhirat http://www.fosmil.org/index.php/blog/show/%E2%80%9C-Pendidikan-Seks-untuk-Anak-%E2%80%9C.html (18 Oktober 2010)

Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, “Dampak Sex Bebas” Scribd http://www.scribd.com/doc/14322262/Makalah-Dampak-Sex-Bebas (17 Oktober 2010)